Sebuah peristiwa politik penting kadang-kadang terjadi di tempat yang sepertinya tak penting, atau setidaknya tak terduga. Inilah yang terjadi ketika pembentukan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) dimaklumatkan oleh Goenawan Mohamad, Jumat (15/3/1996), di Cafe Venezia Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Pembentukan KIPP sebetulnya tidak mengejutkan sebab wacana mengenai perlunya lembaga independen pengawas pemilu sudah bergulir semenjak tiga bulan lampau. Jika ditarik lebih ke belakang, wacana ini bahkan sudah diperbincangan di seputar Pemilu 1992, terutama setelah PDI menggulirkan isu peradilan pemilu. Jika substansi protes politik yang terwadahi KIPP dikontekstualisasi dalam lanskap lebih luas, wacana itu bahkan sudah menjadi bagian penyelenggaraan pemilu-pemilu Orde Baru sejak awal. Protes milik KIPP sudah diartikulasikan semenjak Pemilu 1971 dan terus artikulatif hingga Pemilu 1992. Pembentukan KIPP pun bisa kita sebut sebagai agregasi protes-protes politik masyarakat terhadap pemilu-pemilu Orde Baru.
Sebagai fenomena pengelompokan politik, signifikansi politik pembentukan KIPP dapat kita setarakan dengan peristiwa Petisi 50, Mei 1980, yang kemudian diikuti oleh terbentuknya Kelompok Kerja Petisi 50. Bahkan jika kita cermati sosok para aktivis dalam personalia Presidium dan Dewan Pertimbangan KIPP, boleh dibilang KIPP mewakili spektrum politik yang lebih luas ketimbang komposisi Nasabri (nasionalis, agama, dan ABRI) dalam Petisi 50. Dilihat sebagai gerakan protes politik, terbentuknya KIPP memiliki signifikansi politik setara gerakan protes Golput semenjak Mei 1971. Bahkan lebih signifikan. Dibanding gerakan Golput yang wilayah protesnya bisa dinilai sebagai wilayah afialiasi politik pribadi warga negara wilayah protes KIPP menohok aspek kelemahan pemilu-pemilu kita yang jauh lebih struktural.
Ada sejumlah pertanyaan implikatif yang mengekor di belakang maklumat dari Venezia itu. Seberapa pentingkah kehadiran KIPP dalam upaya peningkatan kualitas pemilu kita? Bagaimanakah sebaiknya sistem politik mengakomodasi kehadiran KIPP ini sehingga produktif bagi peningkatan kualitas pemilu dan perluasan demokrasi? Arti Penting Kehadiran lembaga independen pemantau pemilu di Indonesia penting artinya di atas sebab teoritis sekaligus empirik
.
Teori-teori ilmu politik selalu menyebut adanya komite pemilu yang independen sebagai salah satu syarat pemilu yang demokratis -- selain syarat-syarat lain, semacam diakuinya hak pilih universal, kompetisi antarkontestan, kebebasan mendiskusikan dan menentukan pilihan, dan penghitungan suara yang jujur dan transparan. Komite pemilu yang independen memang mutlak diperlukan.
Teori-teori ilmu politik selalu menyebut adanya komite pemilu yang independen sebagai salah satu syarat pemilu yang demokratis -- selain syarat-syarat lain, semacam diakuinya hak pilih universal, kompetisi antarkontestan, kebebasan mendiskusikan dan menentukan pilihan, dan penghitungan suara yang jujur dan transparan. Komite pemilu yang independen memang mutlak diperlukan.
Namun,dalam praktek hampir semua pemilu modern, komite ini bagaimanapun rumusan independensinya selalu memiliki garis vertikal ke birokrasi. Persoalan menjadi serius di dalam sistem politik yang birokrasinya tak memiliki netralitas politik.Dalam keadaan itulah sebuah komite pemilu memerlukan peran pendampingan atau kemitraan dari komite pemantau pemilu yang benar-benar independen. Arti penting kehadiran KIPP, dilihat dari perspektif teori pemilu demokratis, terletak di sini. Ketika komite pemilu kita memiliki hambatan struktural dan kultural untuk bersikap fair seorang ketua partai kontestan pemilu didudukkan menjadi wakil ketua komite pemilu, misalnya sebuah lembaga pemantau menjadi sangat penting.
Alasan lain adalah alasan empirik. Mesti diakui bahwa pemilu-pemilu Orde Baru masih diliputi oleh sejumlah kekurangan mendasar. Selain ketidaknetralan komite pemilu omite Pemilu 1992 pimpinan Mendagri Rudini, bukan pengecualian kelemahan-kelemahan pemilu Orde Baru diungkap oleh banyak literatur. Terakhir, penelitian Alexander Irwan dan Edriana (1995) tentang Pemilu 1992 menunjukkan kelemahan-kelemahan itu secara meyakinkan.
Penelitian Alex dan Edriana mendata pelanggaran-pelanggaran pemilu. Mulai dari pencekalan Jurkam sebuah kontestan dan penghitungan suara yang tak jujur, hingga ke pelanggaran yang kelihatannya "lunak" semacam intimidasi-halus terhadap saksi dari PPP atau PDI, dan terhambatnya pendukung partai dari satu kecamatan ketika hendak meramaikan kampanye partainya di kecamatan lain -- padahal hambatan serupa tak mengenai pendukung Golkar.
Penelitian tersebut, lebih lanjut menunjukkan bahwa pelaku pelanggaran yang paling rajin" ternyata badan-badan penyelenggara pemilu (pelaku 618 kasus dari 1.019 kasus, atau 60,6 persen), dan birokrasi pemerintahan (296 kasus atau 29 persen). Fakta-fakta itu adalah alasan empirik perlunya sebuah komite independen pemantau pemilu. KIPP menjadi penting dalam kaitan itu, terlebih-lebih jika kita belajar dari pengalaman Pemilu 1986 di Filipina, misalnya. Dalam Pemilu bersejarah yang menumbangkan kediktatoran Ferdinand Marcos itu, komite independen pemantau pemilu memiliki peranan signifikan tak saja dalam menunjukkan penghitungan suara yang lebih jujur, namun juga dalam memporakporandakan legitimasi sebuah pemerintahan.
Dalam Pemilu 1986, 23 juta pemilih Filipina -- dari 26 juta pemilih terdaftar berduyun-duyun mendatangi 86.000 tempat pemungutan suara di 74 propinsi. Pemilu 1986 ini penting dalam sejarah Filipina karena menandai pembalikan politik dramatis. Pentingnya Pemilu 1986 antara lain ditunjukkan dengan hadirnya 45 delegasi resmi dari 20 negara untuk ikut hadir memantau pemilu. AS, negara yang paling berkepentingan dengan hasil pemilu itu, bahkan mengirim 20 orang anggota delegasi resmi.
Yang menarik dari Pemilu 1986 di Filipina adalah adanya mekanisme pemantauan pemilu oleh kalangan domestik-independen. Pemerintah Marcos memang membentuk Comelec sebagai komite pemantau pemilu, namun juga mengijinkan Namfrel sebagai komite pemantau pemilu independen untuk ikut bekerja. Selain itu, ada juga sejumlah komite pemantau lain yang dibentuk masyarakat. Alhasil, penghitungan suara yang dilaporkan radio, televisi, Comelec, dan Namfrel, dan lembaga pemantau lain memang simpang siur dan sempat membuat masyarakat Filipina bingung. Namun kehadiran Namfrel terbukti kemudian sangat produktif bagi upaya "pembersihan pemilu".
Namfrel yang independen memang selalu menyajikan hasil penghitungan suara yang berbeda dengan Comelec. Namfrel memenangkan Cory Aquino dan Salvador (Doy) Laurel sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Sementara Comelec mengeluarkan perhitungan yang sama dengan komite pemilu resmi pemerintah: memenangkan Marcos dan Tolentino.
Karena reputasi Namfrel sebagai lembaga pemantau independen, masyarakat Filipina akhirnya lebih bisa menerima kemenangan Cory-Doy ketimbang Marcos-Tolentino. Sejarah kemudian mencatat, bahwa Namfrel memiliki peran signifikan dalam membuka perubahan politik Filipina pasca Marcos.Pengalaman Filipina menunjukkan bahwa sebuah lembaga independen pemantau pemilu -- semacam KIPP yang baru berdiri di tengah kita -- bisa memiliki arti penting bagi peningkatan kualitas pemilu dan kualitas sistem politik.
Kekuatan Pertanyaannya sekarang: Bagaimana sebetulnya kekuatan-potensial dari KIPP? Sulit dibantah bahwa sebagai sebuah fenomena gerakan protes politik, KIPP memiliki sejumlah keunggulan.Muatan protes KIPP sangat substantif dan sudah menjadi milik kalangan kritis yang bersifat luas dan massal di Indonesia. Belakangan, bahkan "kalangan kritis" dalam lembaga formal semacam parpol pun memiliki kritisme serupa. KIPP muncul di tengah menguatnya tuntutan perbaikan pemilu dari pelbagai kalangan, yang sudah merembes ke kalangan formal.
PPP dan Buya Ismail Hasan Meutarem, misalnya, belakangan gencar mengeritik rendahnya kualitas jurdil dalam pemilu-pemilu Orde Baru. Lebih jauh, PPP bahkan sedang mengupayakan RUU revisi atas UU tentang Pemilu 1985 RUU ini sedang dipelajari FABRI dan sudah ditolak substansinya oleh FKP. Kritik serupa sudah muncul dari PDI. Dalam Pemilu 1992, ketika berita acara hasil penghitungan suara akan disahkan, Soerjadi, Ketua DPP PDI waktu itu, nyaris tak bersedia menandatanganinya. Soerjadi melihat indikasi ketidakjujuran. Alex Asmasoebrata, Ketua DPD PDI Jakarta, juga sempat menunjukkan sikap serupa. Selain kuat dari sudut substansi isu, KIPP juga kuat dari segi timing.
KIPP lahir tepat waktu ketika masyarakat semakin kritis dan cerdas berpolitik. Indikasi pencerdasan politik masyarakat sudah terlihat semenjak Pemilu 1992, ketika Golkar mengalami penurunan suara sebesar 5 persen; sementara PPP dan terutama PDI mengalami kenaikan suara relatif signifikan.Penelitian Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI (Monografi Politik 21 Kelurahan di DKI Jakarta,1995) mengkonfirmasikan hipotesis pencerdasan politik masyarakat tersebut. Salah satu temuan penelitian ini adalah adanya gugatan serius dari umumnya masyarakat atas sikap birokrasi-pemerintahan yang tidak fair terhadap tiga Orsospol yang ada. Manuver-manuver pemerintah yang cenderung menganak-emaskan Golkar, ditentang dan potensial menurunkan simpati masyarakat pada Golkar dan pemerintah.
Selain itu, sebagai gerakan protes politik, KIPP memiliki kekuatan yang relatif lebih besar ketimbang sejumlah protes dalam delapan tahun terakhir, lantaran KIPP dapat dipandang sebagai "institusionalisasi" dan aklimatisasi gerakan-gerakan protes politik itu. KIPP mewadahi titik temu dari polarisasi agenda para aktivis kritis. Dalam KIPP kalangan-kalangan kritis yang sebelumnya bergerak dalam agenda masing-masing, menemukan isu protes bersama yang substantif.Proses institusionalisasi (terbatas) KIPP sudah makin terlihat hari-hari ini ketika sejumlah daerah mendirikan lembaga sejenis untuk mengkonkretisasi agenda yang sudah dimaklumatkan KIPP dari Cafe Venezia. Sementara sebagai aklimatisasi gerakan protes politik masyarakat, KIPP mempertemukan para aktivis dari spektrum luas dalam komposisi keanggotaan presidium, dewan pertimbangan, dan simpatisan-pendukung yang hadir di Cafe Venezia.
Kekuatan lain KIPP adalah dukungan yang diberikan figur-figur kredibel, kompeten, dan cukup representatif di "bidang" protes sosial dan politik di Indonesia. Ini merupakan kekuatan potensial yang dimiliki KIPP terutama untuk mendekatkan agenda kerja KIPP dengan masyarakat via tokoh-tokoh yang memang selama ini dikenal sebagai narasumber-primadona bagi pemberitaan media massa.Akomodasi Kehadiran KIPP adalah fenomena politik signifikan. Ia (kehadiran KIPP) tak bisa ditanggapi negara secara sambil lalu apalagi apriori. Bukan lantaran kita harus menghindar dari pengalaman tragis Filipina yang diceritakan di atas; namun karena memang sudah saatnya anasir-anasir bangsa ini duduk bersama untuk mendiskusikan wacana demokrasi secara serius dan mengkonkretisasinya. Dalam kerangka itu, aspirasi protes politik yang di-manifest-kan melalui pembentukan KIPP selayaknya diakomodasi oleh negara secara layak. Sebagaimana Namfrel di Filipina, KIPP semestinya diberi ruang gerak leluasa untuk memantau Pemilu 1997 kelak.
Dalam konteks itu, sikap negara terhadap KIPP akan menjadi satu lagi pengukur tingkat kedewasaan kita berpolitik dan tingkat keseriusan kita dengan agenda demokratisasi. Sudah sejak lama literatur ilmu politik bersepakat bahwa penggunaan pidato-pidato dan pernyataan-pernyataan resmi pejabat di koran-koran tidak bisa jadi ukuran kualitas demokrasi sebuah sistem politik. Kualitas demokrasi diukur secara lebih valid melalui apa yang dikerjakan secara konkret oleh sebuah sistem politik.
Sikap negara terhadap KIPP akan dengan sendirinya menunjukkan seberapa responsif sistem politik kita. Mudah-mudahan responsibilitas lah yang kita lihat, bukan sebaliknya. Sudah saatnya sistem politik kita melakukan pembuktian diri demokratis melalui cara terakhir ini. Eep Saefulloh Fatah, Pengajar dan Peneliti di FISIP UI, Staf Litbang Redaksi Republika
Comments :
Posting Komentar