Awalnya adalah pernyataan Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memet: pemerintah mempersilahkan pemilu 1997 dihadiri oleh para pengamat luar negeri. "Bahkan, pemerintah akan mengundang wakil-wakil negara lain untuk menyaksikan Pemilu," kata Yogie mantap, minggu pertama Maret 1997 ini.
Pernyataan Yogie dikuatkan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung, yang menyatakan niat pemerintah itu merupakan langkah maju bagi jalannya proses demokratisasi. "Kita memang wajib menunjukkan kepada dunia luar bahwa kita terbuka," ujar orang nomor satu di ABRI ini.
Bak gayung bersambut. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal R. Hartono mengatakan bahwa ABRI tidak pernah melarang orang asing atau lembaga asing yang ingin melakukan pengamatan jalannya Pemilu, asalkan bukan untuk mengawasi pesta yang rutin digelar setiap lima tahun itu. "Kalau mereka mengawasi dan melakukan intervensi jalannya Pemilu, maka mereka akan kita tindak dan tangkap," tegas Jenderal Hartono.
Tak mau ketinggalan, Ketua Pengawas Pelaksanaan Pemilu Pusat (Panwaslak) yang juga Jaksa Agung RI, Singgih SH, mempersilahkan kedatangan pengamat asing untuk menyaksikan jalannya Pemilu, tapi mereka tidak diperkenankan melakukan pengawasan. "Tugas sebagai pengawas sudah ditangani oleh Panwaslak," kata Singgih.
Mengapa pintu untuk memantau dan mengamati jalannya Pemilu dibuka untuk orang asing dan bukan untuk pengamat "sendiri" yang sudah berdiri? Ini menarik dianalisa. Seperti diketahui, tahun lalu telah berdiri Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) yang diketuai Goenawan Mohamad, mantan Pemred TEMPO. KIPP telah mengembangkan jaringan pemantauan pemilu dengan bekerjasama dengan berbagai lembaga serupa di daerah-daerah.
KIPP ternyata menimbulkan pro dan kontra. Di kalangan mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta partai politik, KIPP mendapat simpati dan dukungan. Namun, tidak begitu di mata pemerintah, ABRI dan Golkar. Asisten Sospol Kassospol ABRI waktu itu, Mayjen Suwarno Adiwijoyo, menyatakan KIPP bertentangan dengan uandang-undang yang disetujui wakil rakyat. Selain itu, anggota KIPP ujar Suwarno, adalah warga negara yang bakal memilih salah satu orsospol, dan itu tidak independen. "Kalau anggota KIPP tidak memilih maka mereka akan Golput. berati tidak melakukan kewajiban sebagai warga negara," kata Suwarno ketika itu. Sementara Jaksa Agung, Singgih, SH, menanggapi bahwa KIPP tidak berwenang mengawasi jalannya Pemilu karena keberadaannya berada di luar sistem. " Kalau hanya memberikan saran saya kira tidak masalah," ujar Singgih. Golkar sebagai "partai" terbesar sejak awal tidak setuju dengan kehadiran komite-komite pemantau Pemilu. Alasannya, ujar Sekjen Golkar, Ari Mardjono, karena sudah ada Panwaslak.
Sebenarnya pemantau swasta dalam Pemilu bukan barang baru di muka bumi ini. Sebut saja pengawas independen Pemilu National Citizens Movements for Free Election (Namfrel) yang dibentuk pada Oktober 1983, sebagai bentuk perlawanan rakyat Philipina terhadap kepemimpinan Presiden Marcos. Jauh sebelumnya, di Philipina juga pernah berdiri badan serupa pada masa Presiden Ramon Magsaysay, yang bertujuan mengontrol kekuasaan. Pada Pemilu 1986, berhasil membongkar permainana suara yang dilakukan Marcos.
Ketika itu Marcos dengan Commission in Election, badan Pemilu bentukan pemerintah, menyatakan telah meraih 10 juta suara. Sementara Cory Aquino yang menjadi rivalnya hanya mengantongi 9 juta suara. Namun, Namfrel berhasil membongkar kecurangan yang dilakukan Marcos yang dalam Pemilu hanya mengantongi 7,4 juta suara, sementara pesaingnya Cory berhasil mengumpulkan 8 juta suara. Dan Namfrel tampaknya berhasil mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap Pemilu yang bersih. Keberhasilan Namfrel tidak terlepas dari peran Kardinal Sin, tokoh Katolik yang memberikan kepada badan independen itu dalam mengembalikan demokrasi.
Berbeda dengan Namfrel, tujuan Pollwach di Thailand, didirikan oleh Perdana Menteri Anand Panyarahum, karena merasa bosan dengan suara-suara sumbang yang yang menyatakan pemerintah korup dan pembelian suara dalam Pemilu (1991). Pollwach walau dibentuk dan dananya disokong oleh pemerintah, badan ini melakukan kerja sama dengan LSM untuk memantau Pemilu. Pollwach juga melakukan kampanye penyadaran kepada rakyat, perlunya Pemilu dilaksanakn secara jujur, adil dan bersih. Dan terbukti, kepercayaan rakyat terhadap Pemilu dan pemerintahan meningkat.
Keinginan pemerintah mengundang pengamat asing untuk menyaksikan jalannya Pemilu, oleh banyak kalangan disambut dengan sikap pro dan kontra. Anggota Komnas HAM, Asmara Nababan, menyambut gembira ide yang dilontarkan Mendagri dan Pangab. Namun, ia menggarisbawahi agar badan serupa bentukan masyarakat, juga diberikan kesempatan yang sama. Arbi Sanit, staf pengajar Fisip UI, mengatakan bahwa keinginan pemerintah adalah langkah maju selain memberikan citra yang baik di mata internasional. "Ini juga menjadikan tantangan, bahwa proses pemilu yang jujur dan adil dapat berjalan baik," ujar Arbi Sanit.
Berbeda dengan Asmara dan Arbi, Wakil Gubernur Lemhanas, Juwono Sudarsono menyatakan tidak setuju adanya pengamat asing. " Adanya pengamat asing seolah-olah kita tidak percaya diri untuk melaksanakan Pemilu," ujar Juwono yang juga Guru Besar Fisip UI. (Lihat wawancara Juwono Sudarsono:"Saya Tidak Setuju dengan Pemantau Asing").
Sementara pakar hukum tata negara dari UI, Yusril Ihza Mahendra, melihat keinginan pemerintah mengundang pengamat asing tidak jelas. Karena, ujar Yusril, tidak ada undang-undang atau peraturan yang mengatur hal itu. " Keberadaan KIPP saja mendapat sorotan dari pemerintah, eh, ini kok malah ingin mengundang pengamat asing," ujar Yusril, yang juga Ketua Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI. (Lihat wawancara Yusril Ihza Mahendra:"Jangan-jangan Mendagri Keseleo Lidah Lagi...").
Apakah sebenarnya tujuan pemerintah Indonesia mengundang pengamat asing? Banyak pengamat menilai itu sekadar manuver politik untuk mengangkat citra pemilu -- yang makin kehilangan "kepercayaan" masyarakat, jika diukur dari banyaknya suara-suara sumbang belakangan ini. Karena pemantau asing toh tak bisa berbuat banyak, selain mencatat dan mempublikasikan di luar negeri.(Lihat Catatan: Hasil Pantauan Si "Asing") Satu hal yang sudah dikerjakan berbagai kalangan di Indonesia. Jadi, buat apa "takut" pada pemantau asing?
Comments :
Posting Komentar