Bicara Hak Politik, Perempuan Dituding Nodai Tradisi dan Agama
S |
ejarah bakal lahir dari tanah Afghanistan hari ini. Wilayah yang akrab dengan konflik itu menggelar pemilu pertama dalam 30 tahun terakhir. JOJO ROHI, direktur monitoring Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), melaporkan kisahnya dari Kabul .
DUA hari lalu, saya sempat menemui Ghafar Azaad, seorang mantan tahanan politik (tapol) pada era Mujahidin. Kedekatan Azaad dengan rezim sosialis Najibullah menyeretnya ke dalam penjara tanpa melalui proses pengadilan. Saya membandingkannya dengan era Orde Baru rezim Soeharto. Istilah populernya kira-kira sama dengan "di-PKI-kan".
Seminggu sebelumnya, di Kabul, para ulamaAfghanistan memberikan warning kepada Presiden Karzai tentang bahaya laten sosialis-komunis yang akan bangkit kembali menggunakan sarana pemilu yang demokratis. Beberapa tokoh masyarakat sipil, LSM, dan media-media Barat membagi kategori partai politik yang bertarung pada pemilu parlemen Afghanistan kali ini menjadi tiga tipe.
Pertama, partai-partai sosialis-komunis peninggalan rezim boneka Rusia sebelum era Mujahidin yang pada pemilu kali ini mengubah identitasnya sebagai parpol baru. Kedua, partai-partai yang berhubungan langsung dengan para warlord (panglima perang) Mujahidin. Dan, ketiga, partai-partai yang sama sekali baru dan tak berhubungan dengan sisa-sisa rezim lama.
Pandangan tersebut memicu reaksi frontal dari beberapa parpol yang dikaitkan dengan paham sosialis-komunis Rusia. Salah satunya, Hezb-e-MelliAfghanistan (The National Party of Afghanistan), parpol tempat Ghafar Azaad kini bernaung. Mereka mencoba mengungkap isu tentang beberapa parpol dan kandidat independen yang dibiayai pihak asing, termasuk oleh LSM-LSM serta lembaga-lembaga funding asing. Terutama, lembaga funding dari AS yang pemerintahnya telah mengeluarkan hampir USD 300 juta (sekitar Rp 3 triliun) hanya untuk dana kemanusiaan serta rekonstruksi.
Mereka menyebut salah satu funding tersebut sebagai lembaga yang didirikan salah satu parpol di AS. Perang urat saraf semakin keras dengan mendekatnya hari pemungutan suara hari ini. Isu komunisme dilawan dengan isu komersialisasi nasionalismeAfghanistan kepada pihak asing.
Pemilu parlemenAfghanistan yang dianggarkan USD 159 juta tersebut akan memilih wakil rakyat tingkat nasional yang disebut Wolesi Jirga (House of the People) dan puluhan Dewan Provinsi (Provincial Councils). Ada 5.805 kandidat (2.778 kandidat untuk Wolesi Jirga dan 3.027 untuk Provincial Councils) yang akan bertarung memperebutkan 249 kursi.
Dan, 68 kursi atau 27 persen di antaranya dialokasikan untuk kaum hawa. Itu menempatkan legislatifAfghanistan dalam 20 besar (top twenty) negara-negara di dunia yang menempatkan komposisi proporsional perempuan dalam parlemen.
Peringkat parlemenAfghanistan berdasar komposisi perempuan berada di bawah Selandia Baru dan di atas Vietnam . Menariknya, mereka lebih tinggi daripada komposisi perempuan yang duduk dalam parlemen AS dan Inggris yang masing-masing hanya berhasil menempatkan 15 persen serta 18 persen perempuan. Bila dibandingkan, Indonesia masih kalah jauh karena kuota 30 persen untuk perempuan hanya sampai pada level pencalonan, bukan pada kuota alokasi jatah kursi.
Lebih dari empat puluh persen pemilih perempuanAfghanistan yang telah teregistrasi pada pemilu parlemen kali ini sama dengan persentase pemilu presiden 2004. Kali ini, 583 kandidat perempuan maju untuk pertarungan memperebutkan kursi di Wolesi Jirga dan Provincial Councils.
Sayangnya, sejumlah kandidat perempuan di beberapa daerah akhirnya memutuskan mundur karena desakan komunitasnya. Sebuah keputusan yang sulit. Seorang kandidat perempuan yang saya temui menyatakan, dirinya tak cukup percaya diri karena komunitasnya telah menolak.
Selain faktor psikologis, dia tentu tak akan mendapatkan dukungan finansial dari kerabat serta komunitasnya. Itu pasti keputusan sulit bagi kandidat independen. Lain halnya dengan para kandidat perempuan yang berangkat dari partai politik. Mereka akan mendapatkan dukungan finansial dari partainya.
Apa pun kesulitannya, pemulihan kembali hak-hak politik perempuan merupakan sebuah revolusi tersendiri bagi tradisiAfghanistan yang sebelumnya tidak memberikan tempat sama sekali dalam pengambilan keputusan politik. Jangankan terlibat dalam isu politik (urusan publik), memperoleh pendidikan saja merupakan sesuatu yang sangat mewah bagi perempuan Afghanistan .
Hari ini, kemerdekaan bagi hak-hak kaum perempuanAfghanistan terbuka lebar. Perjuangan memang masih panjang. Satu langkah awal pada pemilu kali ini memberikan harapan baru bagi bangkitnya kaum perempuan.
Kendati hak-hak kaum perempuanAfghanistan telah terbuka, kaum tradisionalis yang masih cukup banyak di sudut-sudut pedalaman Afghanistan justru berseberangan. "Orang asing menggunakan perempuan dan anak-anak untuk berhadapan dengan kami. Kaum perempuan Afghanistan dipakai orang-orang asing untuk melawan tradisi serta agama kami," ungkapnya.
Perjuangan kaum perempuanAfghanistan memang masih panjang. Itu terlihat dalam sebuah kampanye di Provinsi Herat . Seorang kandidat perempuan mendapatkan kesempatan berkampanye. Dia berbicara tentang hak-hak politik, hukum, ekonomi, dan sosial bagi kaum perempuan. Belum sempat menyelesaikan kampanyenya, beberapa kandidat laki-laki berdiri dan merebut mikrofon.
Salah satu laki-laki itu berbicara lantang dengan raut muka marah. Dia menyatakan, tidak seharusnya kaum perempuan berbicara tentang kebebasan. Sebab, itulah yang menyebabkan para gadis remajaAfghanistan kini banyak yang lari (minggat) dari rumah orang tuanya. Kebebasan perempuan justru merusak kesucian para gadis remaja Afghanistan serta menodai tradisi dan agama Islam.
Pemilu parlemen hari ini merupakan test case bagi eksistensi kebebasan kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam sistem politikAfghanistan . Bukan hanya sebagai pemilih, tapi juga sebagai kandidat yang akan mewakili suara serta kepentingan kaum perempuan Afghanistan .
DUA hari lalu, saya sempat menemui Ghafar Azaad, seorang mantan tahanan politik (tapol) pada era Mujahidin. Kedekatan Azaad dengan rezim sosialis Najibullah menyeretnya ke dalam penjara tanpa melalui proses pengadilan. Saya membandingkannya dengan era Orde Baru rezim Soeharto. Istilah populernya kira-kira sama dengan "di-PKI-kan".
Seminggu sebelumnya, di Kabul, para ulama
Pertama, partai-partai sosialis-komunis peninggalan rezim boneka Rusia sebelum era Mujahidin yang pada pemilu kali ini mengubah identitasnya sebagai parpol baru. Kedua, partai-partai yang berhubungan langsung dengan para warlord (panglima perang) Mujahidin. Dan, ketiga, partai-partai yang sama sekali baru dan tak berhubungan dengan sisa-sisa rezim lama.
Pandangan tersebut memicu reaksi frontal dari beberapa parpol yang dikaitkan dengan paham sosialis-komunis Rusia. Salah satunya, Hezb-e-Melli
Mereka menyebut salah satu funding tersebut sebagai lembaga yang didirikan salah satu parpol di AS. Perang urat saraf semakin keras dengan mendekatnya hari pemungutan suara hari ini. Isu komunisme dilawan dengan isu komersialisasi nasionalisme
Pemilu parlemen
Dan, 68 kursi atau 27 persen di antaranya dialokasikan untuk kaum hawa. Itu menempatkan legislatif
Peringkat parlemen
Lebih dari empat puluh persen pemilih perempuan
Sayangnya, sejumlah kandidat perempuan di beberapa daerah akhirnya memutuskan mundur karena desakan komunitasnya. Sebuah keputusan yang sulit. Seorang kandidat perempuan yang saya temui menyatakan, dirinya tak cukup percaya diri karena komunitasnya telah menolak.
Selain faktor psikologis, dia tentu tak akan mendapatkan dukungan finansial dari kerabat serta komunitasnya. Itu pasti keputusan sulit bagi kandidat independen. Lain halnya dengan para kandidat perempuan yang berangkat dari partai politik. Mereka akan mendapatkan dukungan finansial dari partainya.
Apa pun kesulitannya, pemulihan kembali hak-hak politik perempuan merupakan sebuah revolusi tersendiri bagi tradisi
Hari ini, kemerdekaan bagi hak-hak kaum perempuan
Kendati hak-hak kaum perempuan
Perjuangan kaum perempuan
Salah satu laki-laki itu berbicara lantang dengan raut muka marah. Dia menyatakan, tidak seharusnya kaum perempuan berbicara tentang kebebasan. Sebab, itulah yang menyebabkan para gadis remaja
Pemilu parlemen hari ini merupakan test case bagi eksistensi kebebasan kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam sistem politik
Comments :
Posting Komentar