12 Februari 2004

Pemantau Pemilu Ternyata Cuma Penonton


KEBERADAAN pemantau pemilu tidak terlepas dari kekhawatiran adanya kecurangan. Kekhawatiran ini tampaknya tidak akan pernah hilang dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Wajar. Sebab, pengalaman enam pemilu selama Orde Baru memperlihatkan banyak kecurangan. Partai politik peserta pemilu pada saat itu pun tampaknya terpaksa membutakan diri pada kecurangan di depan mata sekalipun.

Pemilu 1997, ada yang mulai berani mempertanyakan keabsahan pelaksanaan pemilu dengan membentuk lembaga pengawas pemilu yang dinamakan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).

Meskipun KIPP sudah bersusah payah mengumpulkan relawan di seluruh Indonesia, tidak mudah bagi mereka untuk melakukan pemantauan pelaksanaan pemilu. Bahkan, tidak jarang pelatihan pemantau di berbagai daerah ketika itu dibubarkan atau setidaknya diintimidasi. KIPP menjadi monumen perlawanan atas Pemilu 1997 yang tidak jurdil.

Barulah setelah era reformasi peran pemantau dianggap penting dalam penyelenggaraan pemilu yang bersih. Tak heran jika menjelang Pemilu 1999 muncul berbagai lembaga pemantau. Kehadiran lembaga pemantau pun tidak bisa lagi ditolak oleh pemerintah, seperti yang dialami KIPP menjelang Pemilu 1997. Bahkan, kehadiran pemantau juga dikuatkan dalam Undang-Undang Pemilu.

Pada pelaksanaan pemilu lalu, selain KIPP ada dua lembaga lagi yang serius membangun jaringan pemantauan, yaitu Forum Rektor dan Jaringan Perguruan Tinggi Pemantau Pemilu (University Network for Free and Fair Election/UNFREL).

Selain itu juga muncul lembaga lain seperti Aliansi Pemantau Pemilu Independen (APPI), Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia (JAMPPI) yang dibentuk Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), serta Komisi Pemantauan Pemilihan Umum dan Pengembangan Kehidupan Demokrasi (KP3KD).

Pada saat itu, pemantau bisa berperan aktif untuk mengawasi jalannya pemilu dan mendapatkan kebebasan. Relawan pemantau bisa memasuki lokasi tempat pemungutan suara (TPS). Bahkan, tidak jarang relawan menjadi tempat bertanya panitia pemungutan suara tentang pelaksanaan pemilu.

Kisah sukses Pemilu 1999 yang melibatkan banyak lembaga pemantau membuat eksistensi lembaga pemantau makin diakui. Tidak heran jika pemantau juga diakui dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu. UU itu menegaskan, lembaga pemantau harus terikat dengan kewajiban mendaftarkan diri dan memperoleh akreditasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Aturan ini dimuat dalam Pasal 135 UU No 12/2003 Ayat (3) dan (4).

Tampaknya, ini yang oleh lembaga-lembaga KPU dimanfaatkan untuk menunjukkan kekuasaan dengan melarang pemantau independen memasuki area tempat pemungutan suara pada hari-H pemilu.

KPU melarang pemantau untuk memasuki area TPS seluas 120 meter persegi pada hari-H pemilu. KPU merasa khawatir keberadaan pemantau bisa mengganggu proses pelaksanaan pemilu.

Padahal, dalam pelaksanaan Pemilu 1999 tidak ada pelaksanaan pencoblosan yang terganggu dengan keberadaan pemantau. Kecuali keberadaan pemantau pada Pemilu 1997 yang dicurigai penguasa saat itu akan mengacaukan jalannya pemilu. Pasalnya, penguasa saat itu tidak bisa leluasa lagi melakukan kecurangan.

KPU menuai protes

Akibatnya, KPU pun menuai protes dari berbagai pemantau. Deputi Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar N Gumay bahkan menilai KPU tidak memahami peran pemantau. KPU tidak memahami keberadaan pemantau. Keleluasaan mengamati pemungutan dan penghitungan suara di TPS secara jelas merupakan satu faktor yang meningkatkan nilai dan integritas pemilu.

Tidak heran jika Hadar dan berbagai lembaga pemantau pun mempertanyakan fungsi akreditasi KPU jika ruang gerak pemantau independen dibatasi. Padahal, peran pemantau ini akan semakin terasa jika saksi-saksi dari partai politik tidak lengkap. Artinya, keberadaan pemantau bisa memperkuat legitimasi hasil pemilu yang sudah berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Meminta pemantau yang berada di luar area TPS lalu dirasa sebagai hambatan pelaksanaan tugas pemantau. Persoalan penting yang akan dipantau dan dicatat justru berada di dalam area TPS. Ketidakhadiran pemantau independen di area TPS memberikan peluang kemungkinan terjadinya manipulasi dalam proses pemilihan. Misalnya, kesalahan terlewatnya tanda tangan kertas suara oleh Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara yang menyebabkan suara tidak sah.

Direktur Eksekutif KIPP Ray Rangkuti menilai kekhawatiran KPU sangat berlebihan. Pembatasan yang dilakukan KPU lalu dianggap sebagai unjuk kekuasaan pada lembaga pemantau ketimbang mengatur pelaksanaan pemantauan.

Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti mengakui, memang pada hari-H pelaksanaan pemilu saksi dan pemantau akan ditempatkan di belakang meja petugas KPPS. Namun, Ramlan membantah kebijakan KPU itu sebagai cermin ketidakpahaman pada peran pemantau.

Penempatan pemantau di luar area pemungutan suara semata-mata untuk menghindarkan adanya gangguan terhadap pemungutan dan penghitungan suara serta menjamin kerahasiaan pemberian suara.

Pasalnya, desain bilik suara yang akan digunakan pada Pemilu 2004 tidak memungkinkan pemantau hilir mudik sampai ke bagian belakang tempat pemberian suara. Bilik suara yang digunakan hanya terdiri atas lembaran aluminium tiga sisi seperti huruf U, yang memungkinkan pemilih tetap bisa melihat ke sekitar lokasi TPS.

Ramlan membantah tuduhan meminggirkan peran pemantau. KPU justru mengapresiasi kehadiran mereka. Namun, perubahan dalam Pemilu 2004 dengan segenap konsekuensinya juga harus dipahami.

Untungnya aturan KPU itu pada tingkat daerah diterjemahkan secara luwes. Ketua dan anggota KPU DKI Jakarta Mohamad Taufik dan Muflizar, misalnya, menyatakan akan mengizinkan pemantau independen masuk ke area TPS. Alasannya, pemantau toh sudah diakreditasi KPU. Artinya, mereka pun mestinya memahami tata cara dan etika pemantauan. Lagi pula, kalaupun mereka mengganggu jalannya proses pemilu, Ketua KPPS berhak mengeluarkan dari areal TPS.

Hingga kini ada 74 lembaga pemantau yang mendaftarkan diri. Menurut jadwal, pendaftaran yang dibuka 21 Januari akan berakhir 10 Maret. Pendaftaran dilakukan simultan di KPU untuk lembaga pemantau lintas provinsi, di KPU provinsi untuk lembaga pemantau lintas kabupaten, dan di KPU kabupaten/kota untuk lembaga pemantau yang wilayah pantauannya hanya di satu kabupaten/ kota. Berapa yang kelak mendapat akreditasi belum jelas.

Keberadaan lembaga pemantau memang tidak menentukan absah tidaknya pemilu. Namun, mereka bisa melaporkan hasil pantauan kepada Panitia Pengawas Pemilu. Masalahnya, jika pemantau tidak boleh memasuki area TPS, dan masyarakat umum pun berhak melaporkan pelanggaran kepada panwas, lantas apa beda pemantau dengan penonton. (Imam Prihadiyoko)

URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0402/09/Politikhukum/846125.htm



Comments :

ada 0 komentar ke “Pemantau Pemilu Ternyata Cuma Penonton”
free7