
Jakarta - Kasus percaloan nomor urut calon legislatif PPP saat ini menjadi sorotan. Kasus ini mulai terbuka ketika Bahrudin Dahlan, kader partai berlambang Kabah itu mengungkapkan, Faiqoh Al Haj, salah satu caleg PPP di Dapil I Jawa Timur harus setor Rp 250 juta supaya bisa duduk di nomor urut 1.
Sebenarnya kisah percaloan seperti ini bukan barang baru. Menjelang Pemilu 2004 lalu, cerita yang sama juga telah terpublikasi. Sudah bukan menjadi rahasia lagi. Karena sudah menjadi budaya, sangat dimungkinkan sejumlah parpol lain, selain PPP, juga terdapat aksi percaloan seperti itu.
"Jual beli nomor urut caleg sudah terjadi dalam beberapa pemilu lalu. Cuma sekarang baru digulirkan karena ada ketidakpuasan kader partai," ujar Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Saryono Indro kepada detikcom.
Para pengurus parpol yang suka jual beli nomor urut tersebut, biasanya sejumlah elit di parpol besar yang berpotensi meloloskan calegnya ke kursi DPR, cukup tinggi. PDIP misalnya. Sisten pencalegan di partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu saat ini banyak dikeluhkan kadernya. Sebab, mereka banyak yang tergusur nomor urutnya pada Pemilu 2009, karena tidak mampu menyetor uang kepada elit PDIP. Dan pergeseran nomor urut tersebut sudah terjadi sejak Pemilu 2004.
Misalnya di Dapil I DKI Jakarta yang pada Pemilu 2004 meliputi Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Pusat dan Kepulauan Seribu. "Waktu itu yang ada di urutan enam besar, bukan kader loyalis PDIP. Melainkan dari kader Banteng Kuning," kata sumber detikcom di PDIP. Kader Banteng Kuning yang dimaksud sumber tersebut, adalah orang PDIP yang sebelumnya bekas kader Golkar.
Sumber yang merupakan bekas anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ini menyebutkan, bertenggernya kader Banteng Kuning di posisi puncak nomer urut caleg lantaran mereka menyetor uang hingga miliran rupiah kepada beberapa elit partai.
Salah satu caleg yang disebut-sebut menyetor uang adalah Effendi MS Simbolon, yang pada Pemilu 2004 duduk di nomor urut 2 Dapil DKI Jakarta 1. "Simbolon menyetor uang hingga Rp 1 miliar. Sehingga kader-kader lain terpaksa tersingkir dari nomer urut jadi," tuduh sumber tersebut.
Siapa elit yang sempat menerima uang dari Simbolon waktu itu? Sumber tersebut tidak mau menyebutkan nama. Tapi ia mengatakan kalau orang tersebut sekarang mendirikan partai baru.
Sejumlah kader PDIP mengakui kalau Simbolon dikenal "royal" kepada sejumlah petinggi partai. Bahkan ia disebut-sebut rela mengeluarkan uang sekitar Rp 7 miliar untuk membiayai Acara Gebyar Pancasila yang digagas PDIP di Silang Monas, 1 Juni 2008, lalu.
Uang sebanyak itu, kata sang sumber tersebut, bukan tanpa maksud. Uang itu diduga sebagai 'pelicin' untuk memasukkan dua orang famili Simbolon ke dalam daftar nomor urut jadi PDIP di Dapil Bekasi pada Pemilu 2009 mendatang. Sedangkan untuk saat ini Simbolon tercatat di nomor urut 1 caleg PDIP untuk dapil III DKI Jakarta, yang meliputi Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu.
Benarkah tuduhan itu? Saat dihubungi detikcom, Effendi Simbolon membantah habis. Dia menolak jika dikatakan pernah menyetor uang kepada elit tertentu untuk bisa dapat nomor urut jadi di Pemilu 2004. Menurut Effendi, uang yang ia keluarkan waktu itu bukan untuk partai, atau pengurus DPP. Melainkan untuk operasional dan penetrasi selama pemilu.
"Tidak ada itu setoran-setoran. Sebab penetapan nomor urut hasil pembobotan. Kriteriannya adalah kinerja serta loyalitas di partai," tegas Effendi Simbolon.
Simbolon yang sekarang duduk di Komisi VII DPR tersebut mengaku, dalam pencalegan di Pemilu 2009, ia pun mengikuti mengikuti mekanisme yang ada di partai. Kalau pun harus keluar uang, hal itu untuk kepentingan kampanye yang dilakukannya.
Sementara anggota Badan Pemenangan Pemilu DPP PDIP Budi Mulyawan tidak mau mengomentari soal dugaan pemberian uang Effendi Simbolon ke elit PDIP terkait nomor urut jadi. Tapi menurut dia, politik dagang sapi dalam proses penetapan nomor urut mungkin saja terjadi. Namun hal itu dilakukan oleh oknum-oknum elit partai. Bukan kebijaksanaan partai.
"Saya kira itu hanya ekses dalam perekrutan caleg. Dan di semua partai kondisi seperti ini pasti terjadi," ujar Mulyawan kepada detikcom.
Beberapa teman di PDIP, imbuh Mulyawan, memang banyak yang berasumsi jika dalam penyusunan nama caleg terindikasi money politics. Sebab banyak caleg yang mencuat ke nomor urutan atas sebenarnya tidak pantas untuk duduk posisi tersebut. Mereka pun curiga kalau melejitnya caleg karbitan itu karena ada apa-apanya.
Namun Mulyawan menjelaskan, daftar caleg PDIP yang ada sekarang belum berketetapan. Sebab belum disahkan KPU. "Kalau Daftar Caleg Sementara sudah muncul dari KPU dan terbukti caleg yang dicurigai muncul, indikasi teman-teman mungkin sangat beralasan. Tapi kalau sekarang belum bisa," jelasnya.
Munculnya nama-nama yang "tidak kerja keras" di urutan atas daftar caleg menimbulkan kecurigaan sejumlah kader banteng moncong putih. Sebab mereka dianggap belum berbuat apa-apa tapi dapat prioritas di partai.
Sementara di Partai Demokrat praktek jual beli suara nomor urut itu juga terjadi. Para calo biasanya berasal dari jajaran pengurus partai. Harga yang
dipatok para calo ini bervariasi, mulai dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah. "Para calo tersebut mematok harga tertentu kepada caleg untuk jadi nomor urut jadi," jelas Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok.
Tapi, ujar Mubarok, aksi jual beli nomor urut itu terjadi pada Pemilu 2004. Sebab untuk Pemilu 2009 mendatang, Demokrat sudah mengantisipasinya dengan menggunakan sistem suara terbanyak, bukan nomor urut lagi. "Kalau dulu (Pemilu 2004) memang ada. Tapi sekarang kita pakai suara terbanyak," ujar Mubarok kepada detikcom.
Siapa calo nomor urut yang ada di Demokrat? Mubarok mengatakan kalau oknum-oknumnya saat ini sudah menyeberang ke partai lain. Ada beberapa yang masih bercokol di partai, tapi ruang gerak mereka sudah dibatasi. (ddg/asy)
Deden Gunawan - detikNews
Sebenarnya kisah percaloan seperti ini bukan barang baru. Menjelang Pemilu 2004 lalu, cerita yang sama juga telah terpublikasi. Sudah bukan menjadi rahasia lagi. Karena sudah menjadi budaya, sangat dimungkinkan sejumlah parpol lain, selain PPP, juga terdapat aksi percaloan seperti itu.
"Jual beli nomor urut caleg sudah terjadi dalam beberapa pemilu lalu. Cuma sekarang baru digulirkan karena ada ketidakpuasan kader partai," ujar Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Saryono Indro kepada detikcom.
Para pengurus parpol yang suka jual beli nomor urut tersebut, biasanya sejumlah elit di parpol besar yang berpotensi meloloskan calegnya ke kursi DPR, cukup tinggi. PDIP misalnya. Sisten pencalegan di partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu saat ini banyak dikeluhkan kadernya. Sebab, mereka banyak yang tergusur nomor urutnya pada Pemilu 2009, karena tidak mampu menyetor uang kepada elit PDIP. Dan pergeseran nomor urut tersebut sudah terjadi sejak Pemilu 2004.
Misalnya di Dapil I DKI Jakarta yang pada Pemilu 2004 meliputi Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Pusat dan Kepulauan Seribu. "Waktu itu yang ada di urutan enam besar, bukan kader loyalis PDIP. Melainkan dari kader Banteng Kuning," kata sumber detikcom di PDIP. Kader Banteng Kuning yang dimaksud sumber tersebut, adalah orang PDIP yang sebelumnya bekas kader Golkar.
Sumber yang merupakan bekas anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ini menyebutkan, bertenggernya kader Banteng Kuning di posisi puncak nomer urut caleg lantaran mereka menyetor uang hingga miliran rupiah kepada beberapa elit partai.
Salah satu caleg yang disebut-sebut menyetor uang adalah Effendi MS Simbolon, yang pada Pemilu 2004 duduk di nomor urut 2 Dapil DKI Jakarta 1. "Simbolon menyetor uang hingga Rp 1 miliar. Sehingga kader-kader lain terpaksa tersingkir dari nomer urut jadi," tuduh sumber tersebut.
Siapa elit yang sempat menerima uang dari Simbolon waktu itu? Sumber tersebut tidak mau menyebutkan nama. Tapi ia mengatakan kalau orang tersebut sekarang mendirikan partai baru.
Sejumlah kader PDIP mengakui kalau Simbolon dikenal "royal" kepada sejumlah petinggi partai. Bahkan ia disebut-sebut rela mengeluarkan uang sekitar Rp 7 miliar untuk membiayai Acara Gebyar Pancasila yang digagas PDIP di Silang Monas, 1 Juni 2008, lalu.
Uang sebanyak itu, kata sang sumber tersebut, bukan tanpa maksud. Uang itu diduga sebagai 'pelicin' untuk memasukkan dua orang famili Simbolon ke dalam daftar nomor urut jadi PDIP di Dapil Bekasi pada Pemilu 2009 mendatang. Sedangkan untuk saat ini Simbolon tercatat di nomor urut 1 caleg PDIP untuk dapil III DKI Jakarta, yang meliputi Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu.
Benarkah tuduhan itu? Saat dihubungi detikcom, Effendi Simbolon membantah habis. Dia menolak jika dikatakan pernah menyetor uang kepada elit tertentu untuk bisa dapat nomor urut jadi di Pemilu 2004. Menurut Effendi, uang yang ia keluarkan waktu itu bukan untuk partai, atau pengurus DPP. Melainkan untuk operasional dan penetrasi selama pemilu.
"Tidak ada itu setoran-setoran. Sebab penetapan nomor urut hasil pembobotan. Kriteriannya adalah kinerja serta loyalitas di partai," tegas Effendi Simbolon.
Simbolon yang sekarang duduk di Komisi VII DPR tersebut mengaku, dalam pencalegan di Pemilu 2009, ia pun mengikuti mengikuti mekanisme yang ada di partai. Kalau pun harus keluar uang, hal itu untuk kepentingan kampanye yang dilakukannya.
Sementara anggota Badan Pemenangan Pemilu DPP PDIP Budi Mulyawan tidak mau mengomentari soal dugaan pemberian uang Effendi Simbolon ke elit PDIP terkait nomor urut jadi. Tapi menurut dia, politik dagang sapi dalam proses penetapan nomor urut mungkin saja terjadi. Namun hal itu dilakukan oleh oknum-oknum elit partai. Bukan kebijaksanaan partai.
"Saya kira itu hanya ekses dalam perekrutan caleg. Dan di semua partai kondisi seperti ini pasti terjadi," ujar Mulyawan kepada detikcom.
Beberapa teman di PDIP, imbuh Mulyawan, memang banyak yang berasumsi jika dalam penyusunan nama caleg terindikasi money politics. Sebab banyak caleg yang mencuat ke nomor urutan atas sebenarnya tidak pantas untuk duduk posisi tersebut. Mereka pun curiga kalau melejitnya caleg karbitan itu karena ada apa-apanya.
Namun Mulyawan menjelaskan, daftar caleg PDIP yang ada sekarang belum berketetapan. Sebab belum disahkan KPU. "Kalau Daftar Caleg Sementara sudah muncul dari KPU dan terbukti caleg yang dicurigai muncul, indikasi teman-teman mungkin sangat beralasan. Tapi kalau sekarang belum bisa," jelasnya.
Munculnya nama-nama yang "tidak kerja keras" di urutan atas daftar caleg menimbulkan kecurigaan sejumlah kader banteng moncong putih. Sebab mereka dianggap belum berbuat apa-apa tapi dapat prioritas di partai.
Sementara di Partai Demokrat praktek jual beli suara nomor urut itu juga terjadi. Para calo biasanya berasal dari jajaran pengurus partai. Harga yang
dipatok para calo ini bervariasi, mulai dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah. "Para calo tersebut mematok harga tertentu kepada caleg untuk jadi nomor urut jadi," jelas Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok.
Tapi, ujar Mubarok, aksi jual beli nomor urut itu terjadi pada Pemilu 2004. Sebab untuk Pemilu 2009 mendatang, Demokrat sudah mengantisipasinya dengan menggunakan sistem suara terbanyak, bukan nomor urut lagi. "Kalau dulu (Pemilu 2004) memang ada. Tapi sekarang kita pakai suara terbanyak," ujar Mubarok kepada detikcom.
Siapa calo nomor urut yang ada di Demokrat? Mubarok mengatakan kalau oknum-oknumnya saat ini sudah menyeberang ke partai lain. Ada beberapa yang masih bercokol di partai, tapi ruang gerak mereka sudah dibatasi. (ddg/asy)
Deden Gunawan - detikNews
Comments :
Posting Komentar