SUARA PEMBARUAN DAILY
Pengantar
Dari hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) diketahui tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah. Jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilih atau lazim disebut golongan putih (golput) semakin banyak, bahkan melampaui perolehan suara pemenang pilkada. Wartawan SP Alex Madji, Kiblat Said, dan Aries Sudiono, menuliskan laporan seputar fenomena golput menjelang Pemilu 2009.
Dok SP/Jurnasyanto Sukarno
Perawat di tengah-tengah tugasnya meluangkan waktu untuk memberikan suara di TPS RSCM, Jakarta, 5 April 2004. Sejumlah kalangan memprediksi jumlah golput akan meningkat pada Pemilu 2009.
Pilkada di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sudah digelar. Meskipun, pilkada Jawa Timur terpaksa harus melalui dua putaran karena tidak ada satu pun pasangan calon yang meraih suara minimal 30 persen untuk menjadi pemenang, seperti disyaratkan undang-undang. Tetapi yang menarik dari pilkada-pilkada itu, juga di daerah-daerah lain, adalah bahwa tingkat partisipasi masyarakat yang rendah. Bahkan, persentase masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih atau golput lebih tinggi dari pasangan calon terpilih.
Contoh paling anyar adalah pilkada Jawa Timur. Pada putaran pertama angka golputnya mencapai 39,20 persen. Sedangkan, pasangan peraih suara terbanyak, berdasarkan hitung cepat berbagai lembaga, yakni pasangan Soekarwo dan Syaifullah Yusuf hanya berkisar 25-26 persen. Sedangkan urutan keduanya Khofifah Indarparawansa-Mudjiono hanya 25 persen. Keduanya diprediksi maju pada putaran kedua.
Sebelumnya, dalam pilkada Jawa Tengah angka golput cukup tinggi. Sebanyak 10.744.844 pemilih atau 41,5 persen dari 25.861.234 pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap adalah golput. Sementara itu, pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih yang dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dipilih 43,44 persen pemilih.
Dalam pilkada Jawa Barat, angka golput mencapai 9.130.604 suara. Sementara Ahmad Heriawan-Dede Yusuf terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat hanya memperoleh 7.287.647 suara atau 40,50 persen. Dua pasangan lainnya, Agum Gumelar-H Nu'man Abdul Hakim (Aman) meraih 6.217.557 suara (34,55 persen) dan pasangan Danny Setiawan-Iwan Sulanjana (Da'i) memperoleh 4.490.901 suara (24,95 persen).
Dalam pilkada DKI Jakarta, masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 39,2 persen atau 2.241.003 orang dari total 5.719.285 pemilih. Fauzi Bowo-Prijanto yang dicalonkan oleh banyak partai politik, termasuk Partai Golkar dan PDI-P, hanya meraih 2.010.545 atau 35,1 persen suara. Sedangkan pesaingnya yang dicalonkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Adang Daradjatun dan Dani Anwar hanya meraih 1.467.737 atau 25,7 persen suara.
Sedangkan dalam pilkada Sumatera Utara, golput mencapai 40,01 persen. Pasangan Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho (Syampurno) yang menjadi pemenang hanya meraup 28, 31 persen suara. Sedangkan pasangan peraih suara terbanyak kedua, yakni pasangan yang diusung PDI-P Tritamtomo-Benny Pasaribu (Triben) meraih 21,97 persen suara.
Sementara itu, dalam pilkada Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Maluku, yang dimenangi pasangan calon dari PDI-P, angka golputnya cukup rendah. Bali, misalnya, angka golputnya hanya 25,32 persen dan NTT 20 persen. Pilkada NTT dimenangi Frans Lebu Raya-Esthon L Foenay, pilkada Bali dimenangi Made Mangku Pastika-Anak Agung Ngurah Puspayoga, dan pilkada Maluku dimenangi mutlak oleh pasangan Karel Albert Ralahalu-Said Assagaff Amburadul
Tingginya angka golput dalam pilkada itu disebabkan oleh macam-macam faktor. Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) melihat, penyebab paling dominan adalah proses pendaftaran pemilih yang amburadul. Persoalan dasarnya ada pada data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang dibuat pemerintah. DP4 itu diserahkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kepada KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Selanjutnya KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota memverifikasi data itu, kemudian menyusun daftar pemilih sementara (DPS). Ternyata, banyak DP4 yang diserahkan itu tidak valid. Berkali-kali, data itu dikembalikan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, tetapi tidak ada perbaikan signifikan.
Akibatnya, kata Koordinator Nasional JPPR Jeirry Sumampow, data fiktif masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) karena data dasarnya saja sudah kacau. Maka, tidak heran kalau angka orang yang tidak menggunakan hak pilih sangat tinggi. Bahkan di hampir setiap tempat pemungutan suara (TPS), jumlah angka fiktif itu mencapai 50 persen.
Jeirry mencontohkan dalam pilkada Jawa Timur, berdasarkan pemantauan JPPR di Kabupaten Banyuwangi, ada sebuah TPS yang seluruh pemilihnya fiktif. Orang-orang yang terdaftar sebagai pemilih tetap ternyata sudah lama pindah, ada yang sudah meninggal, dan sedang ke luar kota. Akibatnya, tidak satu pun pemilih yang memberikan suara di TPS itu. Yang memilih di situ hanya petugas TPS.
Contoh lain, dalam pilkada di Sumatera Utara. Jeirry menemukan tumpukan kartu pemilih yang tidak terbagi. "Artinya kan orang-orang itu tidak mungkin memilih," ujarnya.
Jeirry yakin, bila data awalnya akurat, maka DPS dan DPT juga akan akurat. Pada akhirnya, tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada juga akan tinggi.
Meski demikian, dia juga mengakui adanya faktor apatisme dari masyarakat terhadap pilkada. Tetapi, menurut dia, persentasenya sangat kecil.
Kesaksian yang sama juga disampaikan mantan anggota KPU Mulyana W Kusumah. Berdasarkan pembicaraannya dengan sejumlah anggota KPU provinsi, disimpulkan bahwa tingginya angka golput dalam pilkada karena proses pendataan pemilih yang amburadul. Dan itu semua berawal dari data yang diserahkan pemerintah ke KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.
Apalagi, metode pendaftarannya menggunakan sistem daftar pemilih aktif, di mana masyarakat sendiri yang aktif bertanya dan mendaftarkan diri sebagai pemilih, bila belum tercantum dalam DPS. Sementara itu, petugas sifatnya pasif menunggu.
Sistem ini, kata Mulyana, turut menyumbang tingginya angka golput. Sebab, masyarakat yang sudah jenuh, masa bodoh, dan apatis, dengan seluruh proses pemilu, tidak terbantu untuk terdaftar sebagai pemilih.
Sedangkan, HM Darwis, dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar menyatakan seseorang yang tak menggunakan hak suara, tidak selalu berarti golput. Penyebabnya, justru bersumber dari kelalaian pemerintah saat melakukan pendataan pemilih.
"Ada orang mau memilih tetapi namanya tak terdaftar, ada yang namanya terdaftar tetapi orangnya tidak ada, bahkan ada yang sudah meninggal. Semua itu bersumber dari ketidakakuratan data dari Dinas Kependudukan kabupaten dan kota," ujarnya
Pengantar
Dari hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) diketahui tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah. Jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilih atau lazim disebut golongan putih (golput) semakin banyak, bahkan melampaui perolehan suara pemenang pilkada. Wartawan SP Alex Madji, Kiblat Said, dan Aries Sudiono, menuliskan laporan seputar fenomena golput menjelang Pemilu 2009.
Dok SP/Jurnasyanto Sukarno
Perawat di tengah-tengah tugasnya meluangkan waktu untuk memberikan suara di TPS RSCM, Jakarta, 5 April 2004. Sejumlah kalangan memprediksi jumlah golput akan meningkat pada Pemilu 2009.
Pilkada di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sudah digelar. Meskipun, pilkada Jawa Timur terpaksa harus melalui dua putaran karena tidak ada satu pun pasangan calon yang meraih suara minimal 30 persen untuk menjadi pemenang, seperti disyaratkan undang-undang. Tetapi yang menarik dari pilkada-pilkada itu, juga di daerah-daerah lain, adalah bahwa tingkat partisipasi masyarakat yang rendah. Bahkan, persentase masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih atau golput lebih tinggi dari pasangan calon terpilih.
Contoh paling anyar adalah pilkada Jawa Timur. Pada putaran pertama angka golputnya mencapai 39,20 persen. Sedangkan, pasangan peraih suara terbanyak, berdasarkan hitung cepat berbagai lembaga, yakni pasangan Soekarwo dan Syaifullah Yusuf hanya berkisar 25-26 persen. Sedangkan urutan keduanya Khofifah Indarparawansa-Mudjiono hanya 25 persen. Keduanya diprediksi maju pada putaran kedua.
Sebelumnya, dalam pilkada Jawa Tengah angka golput cukup tinggi. Sebanyak 10.744.844 pemilih atau 41,5 persen dari 25.861.234 pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap adalah golput. Sementara itu, pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih yang dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dipilih 43,44 persen pemilih.
Dalam pilkada Jawa Barat, angka golput mencapai 9.130.604 suara. Sementara Ahmad Heriawan-Dede Yusuf terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat hanya memperoleh 7.287.647 suara atau 40,50 persen. Dua pasangan lainnya, Agum Gumelar-H Nu'man Abdul Hakim (Aman) meraih 6.217.557 suara (34,55 persen) dan pasangan Danny Setiawan-Iwan Sulanjana (Da'i) memperoleh 4.490.901 suara (24,95 persen).
Dalam pilkada DKI Jakarta, masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 39,2 persen atau 2.241.003 orang dari total 5.719.285 pemilih. Fauzi Bowo-Prijanto yang dicalonkan oleh banyak partai politik, termasuk Partai Golkar dan PDI-P, hanya meraih 2.010.545 atau 35,1 persen suara. Sedangkan pesaingnya yang dicalonkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Adang Daradjatun dan Dani Anwar hanya meraih 1.467.737 atau 25,7 persen suara.
Sedangkan dalam pilkada Sumatera Utara, golput mencapai 40,01 persen. Pasangan Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho (Syampurno) yang menjadi pemenang hanya meraup 28, 31 persen suara. Sedangkan pasangan peraih suara terbanyak kedua, yakni pasangan yang diusung PDI-P Tritamtomo-Benny Pasaribu (Triben) meraih 21,97 persen suara.
Sementara itu, dalam pilkada Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Maluku, yang dimenangi pasangan calon dari PDI-P, angka golputnya cukup rendah. Bali, misalnya, angka golputnya hanya 25,32 persen dan NTT 20 persen. Pilkada NTT dimenangi Frans Lebu Raya-Esthon L Foenay, pilkada Bali dimenangi Made Mangku Pastika-Anak Agung Ngurah Puspayoga, dan pilkada Maluku dimenangi mutlak oleh pasangan Karel Albert Ralahalu-Said Assagaff Amburadul
Tingginya angka golput dalam pilkada itu disebabkan oleh macam-macam faktor. Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) melihat, penyebab paling dominan adalah proses pendaftaran pemilih yang amburadul. Persoalan dasarnya ada pada data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang dibuat pemerintah. DP4 itu diserahkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kepada KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Selanjutnya KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota memverifikasi data itu, kemudian menyusun daftar pemilih sementara (DPS). Ternyata, banyak DP4 yang diserahkan itu tidak valid. Berkali-kali, data itu dikembalikan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, tetapi tidak ada perbaikan signifikan.
Akibatnya, kata Koordinator Nasional JPPR Jeirry Sumampow, data fiktif masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) karena data dasarnya saja sudah kacau. Maka, tidak heran kalau angka orang yang tidak menggunakan hak pilih sangat tinggi. Bahkan di hampir setiap tempat pemungutan suara (TPS), jumlah angka fiktif itu mencapai 50 persen.
Jeirry mencontohkan dalam pilkada Jawa Timur, berdasarkan pemantauan JPPR di Kabupaten Banyuwangi, ada sebuah TPS yang seluruh pemilihnya fiktif. Orang-orang yang terdaftar sebagai pemilih tetap ternyata sudah lama pindah, ada yang sudah meninggal, dan sedang ke luar kota. Akibatnya, tidak satu pun pemilih yang memberikan suara di TPS itu. Yang memilih di situ hanya petugas TPS.
Contoh lain, dalam pilkada di Sumatera Utara. Jeirry menemukan tumpukan kartu pemilih yang tidak terbagi. "Artinya kan orang-orang itu tidak mungkin memilih," ujarnya.
Jeirry yakin, bila data awalnya akurat, maka DPS dan DPT juga akan akurat. Pada akhirnya, tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada juga akan tinggi.
Meski demikian, dia juga mengakui adanya faktor apatisme dari masyarakat terhadap pilkada. Tetapi, menurut dia, persentasenya sangat kecil.
Kesaksian yang sama juga disampaikan mantan anggota KPU Mulyana W Kusumah. Berdasarkan pembicaraannya dengan sejumlah anggota KPU provinsi, disimpulkan bahwa tingginya angka golput dalam pilkada karena proses pendataan pemilih yang amburadul. Dan itu semua berawal dari data yang diserahkan pemerintah ke KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.
Apalagi, metode pendaftarannya menggunakan sistem daftar pemilih aktif, di mana masyarakat sendiri yang aktif bertanya dan mendaftarkan diri sebagai pemilih, bila belum tercantum dalam DPS. Sementara itu, petugas sifatnya pasif menunggu.
Sistem ini, kata Mulyana, turut menyumbang tingginya angka golput. Sebab, masyarakat yang sudah jenuh, masa bodoh, dan apatis, dengan seluruh proses pemilu, tidak terbantu untuk terdaftar sebagai pemilih.
Sedangkan, HM Darwis, dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar menyatakan seseorang yang tak menggunakan hak suara, tidak selalu berarti golput. Penyebabnya, justru bersumber dari kelalaian pemerintah saat melakukan pendataan pemilih.
"Ada orang mau memilih tetapi namanya tak terdaftar, ada yang namanya terdaftar tetapi orangnya tidak ada, bahkan ada yang sudah meninggal. Semua itu bersumber dari ketidakakuratan data dari Dinas Kependudukan kabupaten dan kota," ujarnya
Comments :
Posting Komentar